Tiba-tiba, terasa baju panjangku di tarik-tarik oleh seseorang. Aku tersentak, kutoleh seorang anak perempuan, berwajah tirus, mungkin umurnya sekitar 5 atau 6 tahun, tersengih memandangku
“Kak, mau sewa payungku?” tanya anak itu penuh harap. Dia sedikit menggigil, dan kulihat jari-jari tangannya kecut. Rupanya dia sudah merayau dalam hujan. Aku yang pada dasarnya bukanlah seseorang yang ramah hanya menggelengkan kepala.
“Ayolah Kak, bayarannya cuma seribu, kok..” desaknya lagi. Tiba-tiba aku terasa sejuk, ternyata badanku hampir basah disiram hujan.
“Oklah, mana payungnya?” dari pada menunggu hujan berhenti yang tak tentu bila, lebih baik ku sewa saja payung, dan menunggu balik ke rumah.
“Kak…boleh nggak nanti tambahin wangnya seribu lagi?” sedang aku bergegas menuju ke tempat teksi, anak itu memecahkan kebisuannya.
Darahku seketika mendidih. Inilah akibatnya, kalau orangtua tidak pernah mendidik anak mereka. Mereka akan mulai jadi penjahat diusia muda. Pertama mereka akan bekerja seperti anak ini, kemudian mencuri, dan kebetulan dia seorang anak perempuan, sudah pasti akan menjadi pelacur.
“Kamu tuh ya, sudah dikasih, malah minta lagi, sudah untung aku mau memakai payungmu!” bentakku. Anak itu menatapku, tapi tak terlihat sedikitpun rasa takut di matanya, yang ada malah seperti sebuah pengharapan.
“Dasar anak mata duitan, sekalian jadi pelacur sana, wangnya banyak!!” tambahku makin galak. Anak ini langsung tidak kelihatan ada rasa takut melihat aku sudah naik angin.
“Kak…” panggil anak itu lagi. Dia menatap aku dengan senyumnya yang lebar, khas senyum anak kecil. Ada gigi depan atasnya yang rompong sebatang.
“Kakak tahu tempat itu di mana? Saya mau kerja di situ asal wangnya banyak..” senyumnya makin melebar saat bertanya. Aku yang jadi bingung.
“Kerja apa? Aku pula terpinga-pinga dengan pertanyaanya. Dadaku tiba-tiba terasa seperti di palu.
Yaa..mungkin nanti saja, kalau saya sudah besar. Saya sudah tahu cita-cita saya nanti, saya mau jadi PELACUR saja seperti kata kakak. Jadi PELACUR kan wangnya banyak, boleh jadi kaya raya, tidak miskin lagi, ada rumah besar, biar bisa makan enak, dan kalau mama sakit, saya bisa bawa ke doktor..” ceceran anak itu menerawang, seperti tengah menghayalkan semua yang dia ucapkan. Sedangkan aku, lidahku seperti terikat ke langit-langit mulut. Tak mampu aku bersuara, apalagi memaki atau bersumpah seranah..
“Kak, tuh opletnya sudah ada, wangnya tambah seribu lagi ya, Kak??..” ujarnya lagi, meminta penuh harapan. Seribu perasaan berkecamuk dalam hatiku. Tanpa berkata apa-apa, kukembalikan payung anak itu, meskipun aku belum naik ke atas oplet. Dengan riang, anak itu malah memayungiku hingga aku naik dan duduk di kerusi dekat tingkap di dalam oplet biru itu.
Sambil berlari-lari kecil mengikuti oplet yang mulai bergerak perlahan-lahan. Dia menunggu upah payungnya. Kukeluarkan wang seratus ribuan rupiah dari dalam dompetku, dan kulemparkan pada anak itu. Dia menangkapnya dengan sigap, sejenak ternganga melihat jumlah wang yang kuberikan. Sedetik kemudian dia melambai-lambai ke arah oplet tumpanganku yang semakin menjauh. Aku tak mendengarnya, tapi boleh kubaca bibirnya yang membentuk kalimat “terima kasih”. Tidak, aku yg berterima kasih..atas pengajaran yang telah diberikan kepadaku.
#Kanak-kanak apalah yang mereka tahu...
“Kak, mau sewa payungku?” tanya anak itu penuh harap. Dia sedikit menggigil, dan kulihat jari-jari tangannya kecut. Rupanya dia sudah merayau dalam hujan. Aku yang pada dasarnya bukanlah seseorang yang ramah hanya menggelengkan kepala.
“Ayolah Kak, bayarannya cuma seribu, kok..” desaknya lagi. Tiba-tiba aku terasa sejuk, ternyata badanku hampir basah disiram hujan.
“Oklah, mana payungnya?” dari pada menunggu hujan berhenti yang tak tentu bila, lebih baik ku sewa saja payung, dan menunggu balik ke rumah.
“Kak…boleh nggak nanti tambahin wangnya seribu lagi?” sedang aku bergegas menuju ke tempat teksi, anak itu memecahkan kebisuannya.
Darahku seketika mendidih. Inilah akibatnya, kalau orangtua tidak pernah mendidik anak mereka. Mereka akan mulai jadi penjahat diusia muda. Pertama mereka akan bekerja seperti anak ini, kemudian mencuri, dan kebetulan dia seorang anak perempuan, sudah pasti akan menjadi pelacur.
“Kamu tuh ya, sudah dikasih, malah minta lagi, sudah untung aku mau memakai payungmu!” bentakku. Anak itu menatapku, tapi tak terlihat sedikitpun rasa takut di matanya, yang ada malah seperti sebuah pengharapan.
“Dasar anak mata duitan, sekalian jadi pelacur sana, wangnya banyak!!” tambahku makin galak. Anak ini langsung tidak kelihatan ada rasa takut melihat aku sudah naik angin.
“Kak…” panggil anak itu lagi. Dia menatap aku dengan senyumnya yang lebar, khas senyum anak kecil. Ada gigi depan atasnya yang rompong sebatang.
“Kakak tahu tempat itu di mana? Saya mau kerja di situ asal wangnya banyak..” senyumnya makin melebar saat bertanya. Aku yang jadi bingung.
“Kerja apa? Aku pula terpinga-pinga dengan pertanyaanya. Dadaku tiba-tiba terasa seperti di palu.
Yaa..mungkin nanti saja, kalau saya sudah besar. Saya sudah tahu cita-cita saya nanti, saya mau jadi PELACUR saja seperti kata kakak. Jadi PELACUR kan wangnya banyak, boleh jadi kaya raya, tidak miskin lagi, ada rumah besar, biar bisa makan enak, dan kalau mama sakit, saya bisa bawa ke doktor..” ceceran anak itu menerawang, seperti tengah menghayalkan semua yang dia ucapkan. Sedangkan aku, lidahku seperti terikat ke langit-langit mulut. Tak mampu aku bersuara, apalagi memaki atau bersumpah seranah..
“Kak, tuh opletnya sudah ada, wangnya tambah seribu lagi ya, Kak??..” ujarnya lagi, meminta penuh harapan. Seribu perasaan berkecamuk dalam hatiku. Tanpa berkata apa-apa, kukembalikan payung anak itu, meskipun aku belum naik ke atas oplet. Dengan riang, anak itu malah memayungiku hingga aku naik dan duduk di kerusi dekat tingkap di dalam oplet biru itu.
Sambil berlari-lari kecil mengikuti oplet yang mulai bergerak perlahan-lahan. Dia menunggu upah payungnya. Kukeluarkan wang seratus ribuan rupiah dari dalam dompetku, dan kulemparkan pada anak itu. Dia menangkapnya dengan sigap, sejenak ternganga melihat jumlah wang yang kuberikan. Sedetik kemudian dia melambai-lambai ke arah oplet tumpanganku yang semakin menjauh. Aku tak mendengarnya, tapi boleh kubaca bibirnya yang membentuk kalimat “terima kasih”. Tidak, aku yg berterima kasih..atas pengajaran yang telah diberikan kepadaku.
#Kanak-kanak apalah yang mereka tahu...
kredit pada seorang teman untuk kisah ini..
No comments:
Post a Comment